SENANEWS.ID, JAKARTA – Dunia maya tengah diramaikan oleh kemunculan komet raksasa 3I/ATLAS, objek langit yang berasal dari luar tata surya.
Foto dan animasi orbitnya menjadi viral di berbagai platform media sosial, memicu rasa kagum sekaligus kekhawatiran publik: apakah komet ini berpotensi menabrak Bumi?
Namun, para ahli memastikan bahwa komet 3I/ATLAS tidak berbahaya.
“Ini bukan asteroid yang berpotensi menabrak Bumi. Ia hanya melintas satu kali melewati tata surya kita sebelum kembali ke ruang antarbintang,” ujar Prof. Thomas Djamaluddin, Peneliti Ahli Utama BRIN bidang Astronomi dan Astrofisika.
Penamaan 3I/ATLAS memiliki arti khusus: angka 3 menunjukkan bahwa ini adalah objek antarbintang ketiga yang pernah ditemukan, setelah ʻOumuamua (2017) dan Borisov (2019). Huruf I berarti interstellar, menandakan asalnya dari luar tata surya.
Menurut Prof. Thomas, orbit komet ini berbentuk hiperbolik, bukan elips seperti komet biasa.
“Artinya, ia tidak terikat oleh gravitasi Matahari dan hanya menerobos tata surya kita. Ini bukti kuat bahwa ia berasal dari sistem bintang lain,” jelasnya.
Komet Raksasa dengan Koma Sepanjang 700.000 Kilometer
Secara fisik, 3I/ATLAS tergolong luar biasa. Koma atau awan gas dan debu di sekitar inti esnya mencapai 25.000 kilometer, atau sekitar dua kali diameter Bumi.
Pengamatan teleskop James Webb Space Telescope (JWST) menunjukkan bahwa koma gas karbon dioksida (CO₂)-nya dapat membentang hingga 700.000 kilometer, setengah diameter Matahari.
Komet ini melesat dengan kecepatan sekitar 215.000 km/jam, menjadikannya salah satu yang tercepat yang pernah diamati. Titik terdekatnya dengan Matahari (perihelion) terjadi akhir Oktober 2025, di dalam orbit Mars, sekitar 1,8 AU dari Bumi.
“Lintasannya aman. Jarak minimumnya dari Bumi tetap jauh, jadi tidak ada potensi tabrakan,” tegas Prof. Thomas.
Sejumlah misi luar angkasa seperti Mars Express, ExoMars Trace Gas Orbiter, dan JUICE (ESA) memanfaatkan momen ini untuk melakukan pemantauan jarak jauh terhadap komet tersebut.
NASA Aktifkan Protokol Pertahanan Planet
Badan antariksa Amerika Serikat, NASA, mengaktifkan protokol pertahanan planet setelah mendeteksi variasi tak terduga dalam kecerahan dan lintasan komet 3I/ATLAS.
Bekerja sama dengan Jaringan Peringatan Asteroid Internasional (IAWN), NASA mengeluarkan peringatan melalui Pusat Planet Minor Harvard untuk mengkoordinasikan pengamatan global.
Komet yang ditemukan pada Juli 2025 ini menimbulkan tantangan unik dalam prediksi orbit, sehingga memicu tindakan pencegahan meski tidak menimbulkan risiko langsung bagi Bumi. Mobilisasi ini mencakup kampanye pelatihan teknis internasional yang dijadwalkan berlangsung beberapa bulan mendatang.
Para astronom mencatat fenomena “anti-ekor”, yakni semburan partikel yang justru mengarah ke Matahari. Keanehan ini menyebabkan distorsi pada perhitungan orbit.
Teleskop Hubble dan James Webb berhasil menangkap fenomena langka tersebut pertama kalinya teramati pada pengunjung antarbintang.
Pelepasan gas dari 3I/ATLAS menyebabkan pergeseran pusat kecerahan, sehingga mempersulit estimasi posisi. Untuk itu, observatorium dari berbagai negara akan berpartisipasi dalam simulasi global guna menstandarkan data dan mengurangi kesalahan dalam pelacakan lintasan hiperbolik.
Lokakarya internasional dijadwalkan pada 10 November 2025, mempertemukan para pakar dinamika orbital untuk menyesuaikan algoritma pelacakan.
IAWN juga menggelar latihan observasi global dari 27 November 2025 hingga 27 Januari 2026, melibatkan teleskop di Hawaii, Chili, dan Eropa, dengan fokus pada validasi protokol pertahanan planet. Kegiatan ini menjadi pertama kalinya objek antarbintang diikutsertakan dalam simulasi resmi pertahanan luar angkasa.
Berdasarkan model awal, inti 3I/ATLAS berdiameter antara 320 meter hingga 5,6 kilometer. Kecepatan ekstremnya menyebabkan emisi material yang dapat terdeteksi hingga 450 juta kilometer dari Matahari. Para ilmuwan memperkirakan usianya mencapai lebih dari tujuh miliar tahun, lebih tua daripada Tata Surya.
Data JWST menunjukkan bahwa koma komet ini didominasi karbon dioksida, delapan kali lebih banyak dibandingkan air enam kali lipat dari variasi komet surya yang pernah diamati. Analisis juga menemukan emisi OH pada jarak jauh, mengindikasikan aktivitas awal bahkan sebelum mencapai perihelion.
Peneliti menilai, komposisi kimia tersebut menunjukkan asal usul dari sistem bintang di luar galaksi Bima Sakti, menjadikan 3I/ATLAS sebagai salah satu objek paling menarik untuk diteliti dalam dekade ini.
Setelah melewati titik perihelion pada 30 Oktober 2025, 3I/ATLAS akan bergerak menuju orbit Jupiter sebelum akhirnya meninggalkan Tata Surya pada tahun 2026. Lintasan hiperboliknya menjauh tanpa risiko tabrakan, tetapi tetap dipantau oleh berbagai badan antariksa.
“Komet ini bukan tanda bahaya, melainkan pengingat betapa luas dan misteriusnya alam semesta. Setiap kali kita mempelajari tamu antarbintang, kita belajar sedikit lebih banyak tentang asal-usul kita sendiri,” tutup Prof. Thomas.














